BESTTANGSEL.COM, TANGSEL- Ada tiga tokoh tokoh penting dalam perayaan Idul Adha, Ibrahim, Ismail, dan Hajar. Sayangnya tokoh yang ketiga itu seringkali terlupakan publik. Sayyidati (lebih dikenal “Siti”) Hajar adalah isteri dari Nabi Ibrahim yang dikarunia anak Ismail.

Dosen Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak Fakultas Hukum UNPAM Halimah Humayrah Tuanaya menyebutkan, peristiwa berkurbannya Ibrahim yang berkurban dengan menyembelih Ismail lebih dikenal publik dibanding persitiwa pencarian air di tengah tandusnya padang pasir untuk keberlangsungan hidup Ismail. “Ini menunjukkan, dari dahulu perjuangan yang dilakukkan perempuan hanya dilihat sebagai hal yang biasa-biasa saja, tidak atau kurang berarti” Ujar Pengurus Pimpinan Pusat Aisyiyah itu (Minggu,16/6).

Momen Idul Adha sejatinya kita tidak menafikan perjuangan, pengorbanan dan peran Hajar. Apa yang dilakukan Hajar merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Ia ditempatkan di padang pasir yang tandus tanpa bekal, berjuang dengan gigih mempertahankan hidup diri dan anaknya Ismail. Jadi sudah sepatutnya kita hanya mengagumi pengorbanan Nabi Ibrahim, tapi juga Siti Hajar.

Dalam konteks kekinian, perempuan masih belum menjadi perhatian penuh negara. Perempuan harus berjuang saat mengandung dan melahirkan anak. Berdasarkan data Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sistem pencatatan kematian ibu Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada 2022 mencapai 4.005 dan pada 2023 meningkat menjadi 4.129.

Ditengarai, salah satu penyebab tingginya angka kematian Ibu adalah terlambatnya merujuk Ibu ke Fasilitas Kesehatan yang memadai. Alih-alih mendapatkan layanan kesehatan yang memadai, melalui media masa kita masih sering menyaksikan perempuan harus ditandu menuju Puskesmas untuk melahirkan karena jalanan yang rusak.

Perjuangan perempuan tidak berhenti setelah melahirkan, dan merawat hingga anak-anak. Ia juga harus menjaganya dari ancaman kekerasan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat kasus kekerasan terhadap anak mencapai 24.158 kasus sepanjang 2023, dan 10.932 merupakan kasus kekerasan seksual.

“Sayang, pemerintah tidak serius menyikapi tingginya angka kekerasan seksual. Sudah lewat waktu, pemerintah hanya mampu menerbitkan dua dari tujuh peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Padahal UU TPKS memandatkan agar peraturan pelaksanaannya diterbitkan paling lambat dua tahun” tutup Halimah. (red/*)

Leave a Reply