BESTTANGSEL.COM, JAKARTA- Keputusan mengejutkan Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, yang membatalkan kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) tahun 2026, menimbulkan gelombang kritik. Banyak pihak menilai langkah ini mengorbankan kesehatan publik sekaligus mengabaikan amanat reformasi fiskal. Di tengah gejolak itu, Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Tolak Jadi Target meluncurkan buku Tobacco Control Economics (TCNomics). Buku ini menyodorkan analisis berbasis data tentang kerugian sosial-ekonomi akibat rokok, sekaligus peta jalan kebijakan cukai yang adil, transparan, dan berpihak pada masyarakat.
“Banyak orang mengira cukai sama dengan pajak, padahal berbeda. Pajak berlaku secara umum dan objeknya adalah semua masyarakat, sementara cukai adalah instrumen untuk mengendalikan konsumsi barang berbahaya seperti rokok dan hanya dikenakan pada barang yang selektif. Jadi, kenaikan cukai bukan sekadar mencari uang, melainkan menjaga kesehatan publik dan instrumen keadilan dan redistribusi kesejahteraan,” tegas Manik Marganamahendra, Ketua Umum IYCTC.
Menurutnya, keputusan Menkeu yang membatalkan kenaikan cukai adalah keliru dan tidak empatik. “Lebih dari 200 ribu orang meninggal akibat asap rokok setiap tahun. Kita terlalu sibuk menghitung Produk Domestik Bruto, tapi melupakan kualitas sumber daya manusia. Ekonomi tidak akan berjalan jika masyarakatnya sakit apalagi mati secara prematur. Maka membela industri rokok tanpa mengupayakan kesejahteraan pada petani juga buruh adalah jelas statement membela oligarki.” lanjutnya.
Insight TCNomics
Buku ini dipresentasikan oleh dua penulis utama, Risky Kusuma Hartono dan Astri Hanna Grace Waruwu. Risky menegaskan bahwa narasi ‘rokok penyelamat ekonomi’ adalah mitos. Pada 2019, kerugian ekonomi akibat rokok tercatat Rp599,8 triliun, hampir empat kali lipat lebih besar dari penerimaan cukai rokok yang hanya Rp163 triliun. “Industri selalu mengklaim diri sebagai penopang penerimaan negara, padahal biaya kesehatan dan kerugian produktivitas akibat rokok jauh lebih menghancurkan,” ucap Risky.
Selain kerugian makro, konsumsi rokok juga memperburuk kondisi masyarakat pra sejahtera. Studi PKJS-UI (2019) menemukan bahwa pengeluaran rokok 1% meningkatkan risiko kemiskinan hingga 6%. “Enam dari sepuluh rumah tangga Indonesia, mengalokasikan 10,7% anggaran untuk rokok, lebih besar dari bahan pokok, buah, sayur, maupun daging. Bahkan pada kelompok anak jalanan, mereka bisa menghabiskan 25% pendapatannya hanya untuk rokok,” lanjutnya.
Data TCNomics menunjukkan bahwa prevalensi perokok anak saat ini meningkat dari 7,2% (2013) menjadi 7,4% (2023). dengan jumlah perokok anak mencapai 5,9 juta jiwa. Angka ini memperlihatkan kegagalan regulasi jika kenaikan cukai tidak konsisten. Risky menegaskan bahwa tanpa kebijakan cukai yang progresif, generasi muda Indonesia akan terus menjadi korban adiksi yang merugikan produktivitas jangka panjang.
Pada sisi pekerja, data TCNomics mencatat bahwa saat pemerintah menaikkan tarif cukai sebesar 23% pada 2020, tidak terjadi PHK massal. “Klaim bahwa kenaikan cukai membunuh pekerjaan tidak sesuai realitas. Yang membuat pekerja terancam adalah mekanisasi, outsourcing, dan efisiensi industri. Justru dengan kebijakan yang tepat, pekerja bisa dilindungi dengan jaminan sosial dan peningkatan keterampilan,” tambah Risky.
Astri Hanna menambahkan perspektif lain terkait dampak terhadap petani tembakau dan rokok ilegal. Menurut data TCNomics, luas lahan tembakau nasional mengalami penurunan dari 206 ribu hektar (2010) menjadi hanya sekitar 118 ribu hektar (2023), sementara impor tembakau terus meningkat. “Kesulitan petani bukan karena cukai naik, melainkan karena industri lebih memilih tembakau impor,” paparAstri. Ia menekankan bahwa diversifikasi tanaman dan dukungan kebijakan justru menjadi solusi agar petani tidak terus terjebak dalam ketergantungan pada industri rokok.
Isu rokok ilegal juga mendapat sorotan dalam TCNomics. Narasi industri bahwa kenaikan cukai otomatis memicu peredaran ilegal terbantahkan oleh data. Meski tarif naik, penindakan justru meningkat signifikan. Masalah utamanya bukan pada tarif, melainkan lemahnya pengawasan dan distribusi. “Kami sepakat rokok ilegal harus diberantas, tetapi solusinya adalah penegakan hukum yang konsisten dan simplifikasi struktur tarif, bukan menahan kenaikan cukai,” tegas Astri. Ia menambahkan, dengan pengawasan yang kuat, potensi kehilangan penerimaan negara justru bisa ditekan sekaligus menutup celah bagi produsen nakal.
Tak hanya itu, TCNomics juga menyoroti beban biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok yang masih terus meningkat. Data menunjukkan total beban biaya kesehatan langsung akibat rokok mencapai Rp17,9-27,7 T, dengan 58,6% diantaranya ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Artinya, publik ikut menanggung kerugian akibat lemahnya regulasi fiskal rokok.
Reformasi Cukai Tidak Bisa Ditunda
Diskusi buku ini turut menghadirkan sejumlah penanggap lintas sektor. Dari Kementerian Keuangan, Sarno menegaskan komitmen pemerintah menjalankan amanat RPJMN 2025–2029, termasuk reformasi cukai melalui simplifikasi struktur dari 19 menjadi 8 layer dalam 12 tahun terakhir, serta memperkuat penegakan hukum atas rokok ilegal dan pemanfaatan penerimaan cukai untuk kesehatan serta pembangunan SDM. Indikasi peningkatan peredaran, terutama rokok polos mulai meningkat di tahun 2024, meski penindakan DJBC mencapai 20.783 dalam tahun yang sama. “Kita bisa bayangkan keuntungan besar yang dinikmati pelaku rokok ilegal. Karena itu, pengendalian rokok ilegal harus berjalan beriringan dengan kebijakan cukai progresif,” ujarnya. Sarno juga menekankan bahwa realisasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) sejak 2021 selalu di atas 40%, membuktikan pemanfaatan cukai telah diarahkan pada layanan kesehatan, kesejahteraan pekerja, dan penegakan hukum.
Ekonom, Faisal Rahmanto Moeis menilai TCNomics sebagai bukti kuat bahwa pengendalian konsumsi rokok berpotensi menghemat economy cost hingga ratusan triliun rupiah per tahun sekaligus menurunkan risiko kemiskinan akibat belanja rokok yang tidak produktif. Ia merujuk pada studi CISDI yang menunjukkan potensi penghematan Rp184-410 Triliun (1,16%–2,6% dari GDP) melalui pengendalian konsumsi, baik dari sisi direct cost (biaya pengobatan dan angka kesakitan) maupun indirect cost (hilangnya produktivitas dan usia harapan hidup lebih rendah). Menurutnya, dengan jumlah populasi Indonesia yang kian besar, jika konsumsi rokok tidak dikendalikan maka beban ekonomi akan semakin “boncos”. Data Susenas memperkuat hal ini. “Rata-rata 12% pengeluaran rumah tangga dihabiskan untuk rokok, menjadikannya pos terbesar kedua setelah makanan dan minuman jadi, atau sekitar Rp91 ribu per kapita per bulan. Seharusnya belanja ini bisa dialokasikan untuk kebutuhan produktif rumah tangga, bukan habis untuk rokok,” jelasnya.
Dari sisi tata kelola anggaran, Gurnadi Ridwan, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), mengingatkan soal transparansi dan risiko kebocoran. Ia menekankan bahwa akuntabilitas fiskal harus dijaga ketat, terutama dalam ekspor-impor tembakau yang rawan manipulasi.. “FITRA menyoroti terkait penggunaan DBHCHT di daerah, apakah sudah sesuai untuk peruntukannya atau belum. Selama ini, tanpa akuntabilitas dan transparansi, dana ini rentan diselewengkan. Jika kita ingin mendorong kenaikan cukai, maka kita juga perlu mendorong keseriusan pemerintah mendorong exit strategy untuk mendorong peralihan ke sektor yang lebih produktif dan memiliki nilai jual,” ujar Gurnadi.
Menutup sesi tanggapan, Krisna Puji Rahmayanti dari Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia menyoroti dimensi kebijakan publik. Ia menyoroti dua pesan penting soal tata kelola: pertama, kebijakan publik harus mempertimbangkan berbagai aspek dan memastikan sinkronisasi antar program; kedua, isu transparansi bukan hanya tuntutan kelompok berpendidikan tinggi, tetapi bahkan anak-anak pun kerap mempertanyakan kejelasan penggunaan dana publik. Menurutnya, meski tarif sudah disederhanakan menjadi 8 layer pada tahun 2022, konsistensi simplifikasi harus tetap dilakukan, karena produk rokok pada layer terendah pun tetap berbahaya. Ia menutup dengan menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor agar kebijakan cukai sejalan dengan kerangka MPOWER measures dan tidak kontradiktif antar program.
Link materi: https://s.id/materitcnomics
(red/rlls)

Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.