BESTTANGSEL.COM, Jakarta- Pelantikan Presiden, Prabowo Subianto dan Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober 2024 menandai dimulainya babak baru dalam pemerintahan Indonesia. Harapan masyarakat terhadap pasangan pemimpin baru ini tidak hanya terletak pada janji-janji perubahan, tetapi juga pada kemampuan mereka dalam menjalankan fungsi eksekutif yang transparan dan berpihak pada kepentingan rakyat, terutama di tengah tantangan besar yang dihadapi bangsa, seperti masalah kesehatan publik.

“Sebagai Presiden dan Wakil presiden yang memiliki pengaruh besar dalam pembentukan kebijakan publik, Pak Prabowo dan Pak Gibran punya tantangan besar untuk menyelesaikan masalah pengendalian konsumsi rokok yang telah lama menjadi kanker dalam kesehatan dan perekonomian Indonesia. Hal ini juga harus menjadi perhatian Anggota Dewan terpilih yang punya fungsi kontrol terhadap pemerintah dan harus punya keberpihakan yang jelas pada kesehatan publik.” ujar Manik Marganamahendra, Ketua Indonesia Youth Council for Tactical Changes (IYCTC).

Pihaknya menilai bahwa tantangan ini tidak hanya terletak pada ranah eksekutif saja. Pelantikan 580 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sekaligus penambahan jumlah komisi dan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) pada Oktober inimenambah lapisan kompleksitas dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan kesehatan publik. Sebagai badan legislatif yang bertugas menyusun undang-undang, DPR memiliki tanggung jawab besar dalam mendukung kebijakan yang pro-kesehatan.

Namun sayangnya, rekam jejak beberapa anggota DPR menunjukkan adanya potensi konflik kepentingan yang mengkhawatirkan, terutama dalam hal pengaruh industri rokok terhadap proses legislasi dan dorongan kebijakan pemerintah yang semestinya pro kesehatan bukan kepentingan segelintir kelompok saja.

Sebelumnya, IYCTC telah melakukan pemetaan mendalam mengenai para anggota DPR. “IYCTC menemukan sejumlah anggota DPR yang berpotensi memiliki konflik kepentingan dengan industri rokok, baik berhubungan secara langsung, melalui latar belakang bisnis, dukungan kampanye, maupun kepentingan ekonomi lainnya. Semua informasi ini kami sajikan di website Pilihan Tanpa Beban (https://pilihantanpabeban.id/), untuk memberikan akses transparan kepada publik,” kata Manik.

Pilihan Tanpa Beban memberikan transparansi dan akses secara langsung untuk mengecek rekam jejak wakil-wakil rakyat, termasuk potensi konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, terutama dalam pengendalian konsumsi rokok.

“Dengan informasi yang kami sediakan, diharapkan masyarakat dapat lebih kritis dan aktif dalam menilai siapa yang benar-benar memperjuangkan kepentingan mereka,” tambah Manik. Ia meninjau bahwa fakta ini menjadi penting untuk diketahui oleh publik, mengingat anggota DPR memiliki peran besar dalam menentukan arah kebijakan, termasuk regulasi terkait pengendalian konsumsi rokok.

Program Manager IYCTC, Ni Made Shellasih, menggarisbawahi kekhawatirannya. “Berdasarkan hasil pemetaan kami, DPR sebelumnya mencatat jejak hitam dalam pengendalian konsumsi rokok. Penundaan berulang dalam pembahasan sampai dengan pengesahan undang-undang yang melindungi masyarakat dari bahaya rokok, hingga pelonggaran berbagai aturan yang berakibat semakin mudahnya akses rokok menyasar generasi muda, adalah beberapa contoh nyata bagaimana kebijakan kesehatan kerap tersandung oleh kekuatan ekonomi dari industri rokok,” jelasnya.

Shellasih melanjutkan, bahwa pada 2023, misalnya, upaya untuk mengesahkan Undang-Undang Kesehatan No 17 Tahun 2023 yang menjadi payung hukum atas penguatan kebijakan pengendalian konsumsi rokok, mendapat banyak pertentangan dari sejumlah anggota DPR yang memiliki hubungan dengan perusahaan rokok besar. “Tidak bisa dipungkiri juga, bahwa indeks campur tangan industri di Indonesia berada pada angka 84 atau tertinggi se Asia Tenggara. Angka ini mencerminkan seberapa besar pengaruh industri rokok dalam proses legislasi. Kebijakan di yang seharusnya berfokus pada perlindungan kesehatan masyarakat justru sering kali melemah akibat lobi dan tekanan dari sektor industri,” tegas Shella.

Menutup hal ini, Manik kembali menyimpulkan bahwa rokok tidak hanya berdampak buruk bagi kesehatan, tetapi juga bagi ekonomi bangsa. “Kerugian ekonomi yang ditanggung akibat konsumsi rokok di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah. Beban biaya yang meliputi perawatan kesehatan dan turunnya produktivitas masyarakat akibat kesehatan yang ikut menurun. Pengeluaran rumah tangga pun akan terus bocor jika harga rokok yang murah, akses yang mudah, dan promosi yang membludak, masih terus diberikan ruang keistimewaan,” ungkapnya.

Ketika kepentingan industri rokok mendapatkan terlalu banyak ruang dalam kebijakan, hal ini berisiko membiaskan persepsi publik dan melunturkan prinsip perlindungan masyarakat yang seharusnya menjadi fokus utama. Pejabat publik memiliki tanggung jawab untuk menjaga integritas dan mematuhi kode etik yang menempatkan kepentingan masyarakat diatas industri.

“Kebijakan yang sehat seharusnya melindungi seluruh masyarakat, bukan hanya menguntungkan segelintir pihak. Demokrasi yang sehat juga hanya dapat terwujud ketika fungsi kontrol tiap lembaga negara berjalan sesuai mandat rakyat bukan dikangkangi oligarki rokok,” Pungkas Manik, penuh keyakinan. (red/rlls)

Leave a Reply