BESTTANGSEL.COM, BEKASI- Diare, batuk pilek dan gatal-gatal adalah keluhan anak-anak yang biasa ditemui Nurlatifah di lingkungan tempat tinggalnya, di bantaran kali irigasi, Bekasi Jaya. Nurlatifah adalah kader Posyandu di lingkungan setempat. Bersama dengan 9 orang kader lainnya, wanita paruh baya yang akrab di sapa Bu De itu rajin menyambangi warganya serta mengukur berat dan tinggi badan anak-anak.

Kawasan pemukiman padat penduduk ini diapit oleh dua aliran, yaitu kali Irigasi dan kali Bekasi. Selain pemukiman dengan sanitasi yang buruk, sudah pasti banjir juga menjadi ancaman masyarakat setempat setiap kali mulai memasuki musim penghujan. Maka tidak heran, penerapan PHBS oleh masyarakat pun menjadi sulit.

“Kita bahkan nggak ada lahan buat bikin septitank. Jadi MCK yang dari rumah-rumah yaa langsung ke kali,” jelas Nurlatifah yang telah bermukim di kawasan tersebut sejak tahun 1990. Lebih lanjut, ia juga berharap ada bantuan tempat sampah agar masyarakat tidak membuat sampah ke sungai dan anak-anak terbiasa membuang sampah di tempatnya.

Meski demikian, Nurlatifah memastikan kegiatan posyandu berjalan rutin. Kesadaran masyarakat setempat juga tinggi untuk melakukan monitoring tumbuh kembang anak di Posyandu. “Ada sekitar 60 balita di sini dan semuanya datang ke Posyandu. Bahkan di masa pandemi seperti ini kader-kader keliling, kita yang jemput bola. Vitamin dan imunisasi anak-anak di sini lengkap,” tegas Nurlatifah.

Namun, tak dapat dipungkiri, ancaman gizi buruk dan gagal tumbuh (weight faltering) masih membayangi anak-anak di kawasan tersebut. Memang saat ini tidak ada catatan gizi buruk dan stunting balita di kawasan tersebut, namun kesalahan asupan anak-anak dapat mempengaruhi kecerdasan dan kemampuan kognitif mereka kelak. Rendahnya penghasilan keluarga menjadi alasan ibu-ibu memberikan asupan makan seadanya bagi anak-anaknya. Setidaknya, mereka memastikan anak-anak terutama balita mendapat ASI dan susu yang cukup.

Nurhasanah (41 tahun), yang saat ditemuin tengah hamil anak ke 7. Ia menempati rumah petakan bersama suami dan empat anaknya. Dua anak lainnya telah menikah dan tinggal di rumah terpisah. Untuk makan sehari-hari, Nurhasanah mengandalkan penghasilan suaminya yang bekerja sebagai tukang bangunan.

“Cukup untuk nasi dan lauk sehari-hari dan beli susu di warung untuk anak-anak,” ujarnya, sambil melirik anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun yang mendampinginya hari itu. Merasa di bicarakan, bocah kecil itu segera meraih sesachet susu kental manis dari rak kecil yang menyimpan barang-barang mereka. Dengan lancar bocah itupun menceritakan ia sudah bisa menyeduh sendiri susu yang dibeli sang ibu dari warung, untuk diminum pagi dan malam hari. Nurhasanah mengakui, anaknya telah mengkonsumsi kental manis sejak selesai ASI.

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) Yuli Supriati mengakui sulitnya mengedukasi masyarakat mengenai konsumsi makanan bergizi dan mengubah persepsi tentang susu kental manis. “Memang susu itu penting. Namun bila anak diberi susu yang salah, seperti susu kental manis, justru akan berbahaya bagi anak. Ini yang masih menjadi PR saat mengedukasi masyarakat. Saat masyarakat dihadapkan pada masalah ekonomi, sementara anak membutuhkan susu, maka pilihan mereka jatuh pada kental manis, yang tersedia kemasan sachhet dan dianggap harganya lebih murah. Bagi masyarakat, yang penting anak minum susu, padahal yang dikasih sejatinya hanya gula,” ungkap Yuli.  (Red/rlls)

Leave a Reply