BESTTANGSEL.COM, Jakarta – Memasuki usia ke-15, Aliansi Kebangsaan menegaskan kembali peran strategisnya sebagai gerakan pemikir kebangsaan yang konsisten menjaga api nasionalisme di tengah derasnya arus globalisasi. Dalam perayaan hari jadinya yang digelar di Jakarta, lembaga ini tak sekadar bersyukur atas perjalanan panjangnya, melainkan juga meluncurkan karya monumental berjudul “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” karya cendekiawan Yudi Latif — sebuah refleksi mendalam atas signifikansi Indonesia di panggung dunia.

Acara syukuran tersebut dihadiri berbagai tokoh nasional, antara lain Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Atip Latipulhayat, Ketua Dewan Pembina Nurcholis Madjid Society Ori Komariah Madjid, hingga pendiri Yayasan Dana Darma Pancasila Aburizal Bakrie.

Pontjo Sutowo menegaskan, perjalanan 15 tahun Aliansi Kebangsaan tidak hanya diisi dengan kegiatan intelektual, tetapi juga menjadi ruang pembinaan kesadaran berbangsa. “Kami berkomitmen menjadikan Aliansi Kebangsaan sebagai laboratorium gagasan yang menumbuhkan kembali rasa percaya diri bangsa. Buku Yudi Latif ini merupakan wujud nyata dari semangat itu,” ujarnya.

Pancasila untuk Dunia, Bukan Sekadar Indonesia

Dalam bukunya, Yudi Latif mengangkat pemikiran berani: bahwa dunia membutuhkan Indonesia. Menurutnya, nilai-nilai kemanusiaan, gotong royong, dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila dapat menjadi solusi atas krisis multidimensi global.

Cendekiawan Yudi Latif dengan buku terbaru “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia”.

“Selama ini kita terlalu sering memandang diri sebagai penerima arus globalisasi, padahal sejarah menunjukkan bahwa Indonesia pernah menjadi penggerak peradaban,” ujar Yudi.

Ia mencontohkan kejayaan teknologi maritim Nusantara sejak sebelum Masehi, hingga pencapaian arsitektur luar biasa seperti Candi Borobudur yang dibangun dengan presisi tinggi. “Nenek moyang kita bukan hanya peniru, mereka pelopor. Tapi kolonialisme mengubah cara pandang itu dan membuat kita ragu pada kemampuan sendiri,” lanjutnya.

Membebaskan Sejarah dari Hegemoni Kolonial

Menurut Yudi, pembebasan bangsa dari “mentalitas terjajah” tidak dapat dilakukan hanya lewat kebijakan ekonomi atau politik, tetapi juga melalui penulisan sejarah yang jujur dan berimbang.

“Selama ini sejarah sering ditulis dari perspektif luar. Kini saatnya Indonesia menulis dirinya sendiri, sebagai bangsa yang memberi kontribusi nyata bagi kemanusiaan,” tegasnya.

Pandangan ini diamini oleh Abdul Mu’ti, yang menilai gagasan Yudi Latif penting untuk memperluas cara dunia memandang Indonesia. “Kita sering dikenal karena bencana atau konflik, bukan karena sumbangan peradaban. Padahal, Pancasila sendiri adalah sumbangan Indonesia yang luar biasa bagi dunia yang majemuk,” ujarnya.

Momentum Menumbuhkan Kembali Kepercayaan Diri Bangsa

Senator Irman Gusman yang turut hadir menyebut, buku ini hadir di saat yang krusial. “Ketika banyak bangsa kehilangan arah, Indonesia justru memiliki nilai yang bisa menjadi panduan moral dunia. Buku ini bukan hanya karya akademik, tapi ajakan untuk bangkit secara intelektual dan kultural,” tuturnya.

Peluncuran buku “Apa Jadinya Dunia Tanpa Indonesia?” menandai babak baru kiprah Aliansi Kebangsaan. Melalui refleksi sejarah, organisasi ini berupaya menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa Indonesia memiliki peran sentral dalam membangun peradaban global yang berkeadilan.

Sebagaimana pesan Pontjo Sutowo, “Dengan memahami kembali siapa kita, bangsa ini akan belajar menjadi benar-benar merdeka — tidak hanya secara politik, tetapi juga dalam berpikir dan berkarya.” (red/*)

Leave a Reply