BESTTANGSEL.COM, JAKARTA-Aliansi Kebangsaan bekerja sama dengan Forum Rektor Indonesia (FRI) dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) kembali menggelar Forum Group Discution (FGD) secara virtual, pada Jumat, (26/6). FGD yang mengangkat tema “Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-Cita Nasional dengan Paradigma Pancasila” menghadirkan nara sumber di antaranya Pakar Otonomi Daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, Dosen universitas Andalas, Feri Amsari, Prof. Budi Setiyono, Wakil Rektor Undip, Prof. Dr. Syamsuddin Haris, Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, dan Yudi Latief, Dewan Pakar Aliansi Kebangsaan.
Dalam FGD tersebut, sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi topik pembahasan para pakar. Diketahui bahwa Indonesia saat ini menerapkan sistem pilkada langsung atau simetris. Namun sistem pilkada model ini disinyalir banyak menimbulkan hal negatif seperti polarisasi kelompok masyarakat, politik uang, hingga buruknya kinerja kepala daerah terpilih dan persoalan hukum lainnya. Sementara pada pilkada perwakilan (asimetris), justru banyak ditemukan keberagaman kearifan lokal, namun pada pilkada asimetris, akan terjadi perubahan sistem demokrasi, dari demokrasi langsung menjadi demokrasi dengan perwakilan. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan terkait partisipasi publik dan kualitas dari demokrasi itu sendiri.
Ketua FRI Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H. M.H., mengatakan pilkada simetris yang yang diberlakukan setelah reformasi 1998, sebenarnya merupakan keinginan masyarakat yang terpendam selama dua periode pemerintahan, orde lama (Orla) dan orde baru (Orba). Pada dua orde tersebut, figur presiden menjadi pusat kekuasaan. Keinginan terpendam itu melahirkan pemilihan langsung di semua jenjang.
“Semua jenjang pemerintahan, pemimpinnya kemudian dipilih rakyat secara langsung mulai dari presiden, gubernur, dan bupati serta walikota. Demikian pula untuk para wakil rakyat yang ada di DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi serta DPRD Kabupaten Kota, semuanya dipilih langsung oleh masyarakat memakai metode suara terbanyak,” jelas Prof. Yos.
Dalam pelaksanaannya kemudian, Pilkada simetris menimbulkan banyak masalah yang membahayakan sistem demokrasi di Indonesia. Selain polarisasi kelompok masyarakat, politik uang, buruknya kinerja pemimpin daerah, ternyata Pilkada simetris juga membawa konsekuensi biaya yang mahal.
“Yang memprihatinkan, ekses tersebut menjadi berkelanjutan. Itu terlihat dari banyaknya kepala daerah dan anggota legislatif yang ditangkap KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” lanjut Prof. Yos.
Prof. Yos juga menunjukkan data sisi negatif pilkada langsung, yakni dari 2005 hingga kini tercatat ada 423 kepala daerah yang tersandung kasus hukum, sebagian besar merupakan kasus korupsi.
Melihat hal tersebut, Dr. Djohermansyah Djohan, Pakar Otonomi Daerah mengusulkan agar Pilkada simetris tidak diberlakukan bagi kabupaten/kota. Kecuali untuk kabupaten/kota yang memang benar-benar siap dan memiliki kemampuan baik dari segi SDM, pembiayaan, tingkat pendidikan masyarakat maupun sarana penunjang lainnya.
Dari 415 kabupaten dan 93 kota yang ada di Indonesia, menurut Prof. Djohan hanya ada sekitar 10 kota yang memenuhi syarat untuk melaksanakan Pilkada simetris. Sedang sisanya, sebenarnya belum mampu menyelenggarakan Pilkada langsung dengan berbagai alasan.
Pendapat senada juga dikatakan oleh Feri Amsari, dosen Universitas Andalas. Dia memandang bahwa Pilkada asimetris ini mungkin saja pelaksanaannya diperluas di semua daerah di Indonesia. Konstitusi yang disusun oleh founding father (para pendiri negara) memberikan peluang dilakukannya demokrasi dalam bentuk lain diluar demokrasi langsung.
“Dalam konstitusi UUD 1945 hanya satu hal yang tidak boleh diubah yakni bentuk negara kesatuan republik Indonesia,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo mengatakan bahwa, Pilkada asimetris ini bukanlah hal baru di Indonesia. Sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) telah dilaksanakan di 4 propinsi yakni Nangroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Papua.
“Jadi bukan hal yang baru, Indonesia sudah menerapkannya pada 4 propinsi yang memiliki kekhususan dan keistimewaan,” tutur Pontjo Sutowo.
Meski sudah dilaksanakan di sejumlah daerah, diakui Pontjo pro dan kontra terhadap wacana Pilkada asimetris terus berkembang. Di satu sisi Pilkada asimetris diyakini dapat mengurangi ekses negatif pilkada simetris, namun disisi lain terjadi perdebatan terkait dasar konstitusi, indikator yang digunakan, kualitas demokrasi hingga partisipasi publik dalam berdemokrasi.
“Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan dengan cara-cara demokrasi. Apakah demokrasi ini harus pemilihan langsung atau memungkinkan menggunakan sistem perwakilan. Penjabaran pasal 18 UUD 1945 ini penting dilakukan sebagai dasar konstitusi sebelum wacana Pilkada asimetris benar-benar diperluas,” tegasnya. (***)
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.