BESTTANGSEL.COM, LEBAK BANTEN- Menurut laporan petugas gugus Covid-19, sejak terjadinya pandemi hingga awal tahun 2021, atau setelah setahun pandemi, tidak ada catatan kasus COVID-19 di Baduy, baik di Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Padahal, kedua kawasan ini merupakan destinasi wisata yang tetap ramai dikunjungi wisatawan di masa pandemi. Maka tidak heran bila banyak yang mengatakan masyarakat Baduy adalah orang-orang dengan tubuh yang sehat. Ditambah lagi dengan adanya hasil penelitian tentang gambaran umum suku Baduy, yang ditulis oleh Faisal Anwar dan Hadi Riyadi yang terangkum dalam Jurnal Gizi dan Pangan IPB berjudul Status Gizi dan Status Kesehatan Suku Baduy. Mereka menuliskan bahwa orang Baduy umumnya berperawakan ramping, jarang yang terlihat gemuk, mereka tampak kuat dan jarang terlihat sakit. Namun faktanya, sepanjang 2020, terdapat 11 balita dengan gizi buruk. Hal ini menunjukkan status kesehatan anak-anak masyarakat Baduy masih perlu diperhatikan.

Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS), pada awal Juni 2021 berkesempatan melakukan penelusuran ke sejumlah desa di kawasan Baduy. Terdapat 2 desa di Baduy Luar yaitu Ciboleger yang juga merupakan pintu masuk wisatawan ke Baduy serta Ciemes, kampung terdekat dari pintu masuk jalur Nanggerang yang menjadi sasaran penelusuran dan edukasi gizi. Sementara, untuk Baduy Dalam, yang dituju adalah kampung Cibeo yang juga kerap menjadi tujuan wisatawan.

“Di Ciboleger, kami melihat rutinitas pagi beberapa keluarga. Para ibu menyiapkan sarapan, ubi, singkong, pisang goreng dengan teh dan anak-anak mulai dari balita, hingga usia sekolah minum susu atau sereal instan. Nah ini yang jadi perhatian kami, susu yang dikonsumsi anak adalah susu kental manis atau yang biasa mereka sebut kaleng, dan juga minuman instan lainnya seperti sereal kemasan, dan mereka anggap sudah terpenuhi gizinya, jelas R. Marnie, ketua bidang advokasi KOPMAS yang rutin melakukan edukasi bagi masyarakat Baduy, saat dimintai keterangan terkait pantauan yang dilakukannya, Selasa (15/06/2021).

Lanjut Marnie, “Pemandangan serupa pun ditemui di perkampungan lainnya, seperti Ciemes dan Cibeo. Bahkan di kedua kampung ini, susu kaleng sudah menjadi minuman anak bahkan sejak masih di periode ASI. Karena kan ada tukang dagang yang bawa masuk, katanya susu buat anak. Juga bisa beli di warung-warung di Ciboleger kalau lagi keluar, ujar salah satu ibu warga Baduy dalam yang anaknya telah mengkonsumsi kental manis sejak masih bayi.”

Disampaikan Marnie, beberapa tahun terakhir, ia mengamati telah terjadi banyak perubahan baik di Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Secara nilai-nilai yang dianut, memang masih terjaga hingga saat ini. “Sebagian masyarakat Baduy masih berpegang pada pikukuh adat,  Tetapi memang, tidak dapat dipungkiri adanya pengaruh teknologi yang tidak bisa dihindari,” ungkap Marnie.

Menurut Marni suku Baduy pada dasarnya adalah masyarakat yang identik dengan hidup tanpa teknologi. Bahkan hingga saat ini, mereka masih bertahan tanpa listrik. Namun, saat mereka ke luar mereka mereka menonton TV dan menggunakan sosial media. Masyarakat Kedu Ketug yang sangat dekat dengan Ciboleger, sekarang sudah terbiasa menonton TV di malam hari. Mereka menonton di rumah-rumah warga di luar perkampungan Baduy.

“Jadi sebenarnya sudah ada perubahan, bahwa saat ini masyarakat Baduy sudah mengenal keberadaan televisi, gadget, bahkan peranan media sosial dalam kehidupan. Betul di dalam rumah masyarakat Baduy mereka tidak memiliki TV dan handphone. Tapi pada saat mereka keluar, mereka menonton TV dan menggunakan sosial media,” papar Marnie.

“Hal inilah yang menyebabkan pola konsumsi masyarakat terutama anak-anak ikut berubah. Anak-anak suku Baduy sekarang terbiasa mengkonsumsi pangan olahan, yang pastinya tinggi kandungan Gula Garam Lemak (GGL). Mereka melihat iklan, lalu menemukan produk tersebut dijual di warung-warung yang mereka juga gampang akses, dan akhirnya menjadi konsumsi wajib mereka,” imbuh Marni.

Namun, ia tidak menyalahkan keberadaan televisi, gadget dan warung-warung yang menyediakan panganan tersebut. “Hanya saja, ia cukup menyesalkan bahwa hal itu tidak diiringi dengan edukasi panganan yang diberikan untuk masyarakat Baduy. Sebagai contoh, dengan ditemukannya konsumsi kental manis yang tinggi oleh anak-anak Baduy, sementara orang tua tidak mengetahui kandungan dari kental manis,” jelas Marnie.

Dia juga mengatakan, “Ada memang bidan atau puskesmas yang rutin mengontrol kesehatan masyarakat, hanya saja yang masih kurang adalah edukasi soal gizi. Mereka baru sebatas memeriksa kesehatan, namun belum menyampaikan pengetahuan tentang gizi. Bila kondisi ini terus dibiarkan, ada kemungkinan Baduy selanjutnya akan menjadi kawasan yang rawan gizi buruk,” pungkas Marni.  (Red/**)

Leave a Reply